Ilmu Pengetahuan di Balik Makanan Pedas: Mengapa Kita Mendambakan Makanan Bakar

5

Mengapa kita mencari makanan yang membuat kita berkeringat dan menangis? Jawabannya tidak hanya terletak pada selera tetapi juga pada interaksi yang kompleks antara faktor kimia, biologi, dan budaya.

Panasnya makanan pedas berasal dari capsaicin, zat pengiritasi yang ditemukan pada cabai. Ia bekerja langsung pada reseptor saraf yang disebut TRPV1, yang bertanggung jawab untuk mendeteksi rangsangan berbahaya seperti suhu ekstrem dan kerusakan jaringan. Aktivasi ini memicu mekanisme pertahanan alami tubuh kita – misalnya berkeringat, mengeluarkan air mata, dan bahkan pilek – seolah-olah tubuh sedang berusaha mengeluarkan zat yang mengganggu. Jadi mengapa kita rela menimbulkan sensasi ini pada diri kita sendiri?

Liam Browne, seorang profesor yang berspesialisasi dalam persepsi sensorik di UCL, menjelaskan bahwa capsaicin secara efektif membuat tubuh kita berada dalam skenario miniatur “alarm kebakaran”. Otak kita belajar melalui paparan berulang-ulang bahwa meskipun sinyal awal mengkhawatirkan, pada akhirnya sinyal tersebut tidak berbahaya dan dapat dikendalikan. Pergeseran persepsi dari ancaman ke rangsangan yang dapat dikelola dapat membuat pengalaman tersebut dapat ditoleransi – bahkan menyenangkan.

Anggap saja seperti latihan maraton atau mandi air dingin. Ketidaknyamanan awal memudar seiring tubuh kita beradaptasi, meninggalkan rasa pencapaian dan terkadang bahkan perasaan senang sesudahnya. Pergeseran neurokimia serupa dapat terjadi pada makanan pedas, melepaskan endorfin yang melawan sensasi nyeri awal.

Tapi ada lebih dari itu selain desensitisasi. Paparan capsaicin juga mengubah cara otak kita menafsirkan sinyal di masa depan. Saat kita belajar mengasosiasikan rempah-rempah dengan keamanan, maknanya berubah dari mengkhawatirkan menjadi menyenangkan. “Penilaian ulang” rasa sakit ini berperan dalam menikmati aktivitas seperti menonton film horor atau menaiki rollercoaster – yang pada dasarnya merupakan masokisme jinak di mana ketidaknyamanan yang terkendali menjadi mendebarkan.

Susunan genetik kita juga memengaruhi toleransi kita terhadap makanan pedas. Variasi pada gen TRPV1 memengaruhi seberapa mudah gen tersebut aktif dan tidak peka, yang berarti beberapa orang secara alami menganggap rempah-rempah lebih dapat ditoleransi dibandingkan yang lain. Variabilitas ini menambah lapisan lain pada hubungan kompleks yang dimiliki manusia dengan makanan panas.

Dan jangan lupakan budaya! Cabai rawit dibudidayakan ribuan tahun yang lalu di Meksiko dan Amerika Tengah, hal ini menunjukkan adanya sejarah panjang dalam menikmati rasa pedasnya dengan sengaja. Saat ini, pasar saus pedas global sedang booming, menyoroti daya tarik rasa pedas yang bertahan lama di seluruh masyarakat.

Jadi, lain kali Anda ingin menambahkan tambahan serpihan cabai atau menikmati hidangan pedas, ingatlah: ini lebih dari sekadar sensasi rasa. Ini merupakan bukti kemampuan luar biasa otak kita dalam mengubah ketidaknyamanan menjadi kesenangan dan beradaptasi terhadap rangsangan yang tampaknya merugikan.