Ekstraksi Hidrogen: Jalur Potensial Menuju Penambangan Laut Dalam yang Lebih Ramah Lingkungan?

9

Penambangan logam penting seperti nikel, tembaga, dan kobalt di laut dalam semakin menarik seiring meningkatnya permintaan dari sektor kendaraan listrik dan energi terbarukan. Namun, metode ekstraksi tradisional mengancam ekosistem laut dalam yang rapuh, sehingga memicu perdebatan mengenai apakah dampak lingkungan lebih besar daripada manfaatnya. Sebuah studi baru menunjukkan solusi potensial: menggunakan hidrogen untuk mengekstraksi logam dari nodul polimetalik, yang berpotensi menjadikan penambangan laut dalam lebih berkelanjutan dibandingkan operasi konvensional di darat.

Masalah dengan Metode Saat Ini

Nodul polimetalik, yang melimpah di dasar laut, mengandung logam berharga yang penting untuk baterai dan kabel. Pengekstraksian sumber daya ini biasanya melibatkan proses karbon tinggi, seperti pembakaran kokas dan metana, yang menghasilkan emisi yang signifikan. Misalnya, The Metals Company, sebuah perusahaan pertambangan laut dalam terkemuka, memperkirakan metode yang mereka gunakan saat ini menghasilkan 4,9 kilogram CO₂ per kilogram logam yang diekstraksi. Hal ini membuat penambangan laut dalam hanya sedikit lebih baik dibandingkan penambangan darat, yang dapat mengakibatkan perusakan hutan hujan dan pencemaran sungai dengan asam sulfat.

Alternatif Berbasis Hidrogen

Para peneliti di Max Planck Institute for Sustainable Materials mengusulkan metode yang mengabaikan proses tradisional dengan panas tinggi. Alih-alih menggunakan tungku pembakaran, bintil-bintil tersebut digiling menjadi pelet dan dimasukkan langsung ke dalam tungku busur bersama dengan gas hidrogen dan argon. Elektron berenergi tinggi menghasilkan plasma yang suhunya melebihi 1700°C, yang bereaksi dengan nodul, menghilangkan oksida dan meninggalkan logam murni. Satu-satunya produk sampingan yang dihasilkan adalah air, oksida mangan, dan ligat mangan, yang dapat digunakan kembali untuk baterai dan produksi baja.

Jika hidrogen bersumber dari energi terbarukan (yang disebut “hidrogen hijau”) dan tungku menggunakan listrik ramah lingkungan, proses tersebut dapat menghasilkan emisi CO₂ yang mendekati nol. Hal ini sangat kontras dengan peleburan konvensional yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

Perdebatan Mengenai Keberlanjutan

Meskipun metode ekstraksi berbasis hidrogen ini dapat mengurangi jejak karbon secara signifikan, beberapa ahli tetap skeptis. Mario Schmidt dari Universitas Pforzheim berpendapat bahwa pertambangan berbasis darat juga dapat mengadopsi hidrogen ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan, sehingga meniadakan keuntungan apa pun yang mungkin diperoleh dari penambangan laut dalam. Lebih penting lagi, Schmidt menekankan bahwa masalah utama penambangan laut dalam bukanlah emisi karbon, melainkan kerusakan permanen yang ditimbulkannya terhadap ekosistem laut dalam yang unik.

Kelayakan Ekonomi dan Penelitian Masa Depan

Terlepas dari kekhawatiran ini, proses ekstraksi baru dapat menjadikan penambangan laut dalam lebih layak secara ekonomi, sehingga berpotensi membuka pintu bagi pengembangan lebih lanjut. David Dye dari Imperial College London berpendapat bahwa dengan mengatasi tantangan ekstraksi hilir, permasalahan bisnis dan lingkungan dalam penambangan laut dalam bisa menjadi lebih menarik.

Para peneliti menekankan perlunya analisis dampak lingkungan secara menyeluruh sebelum diterapkan secara luas. Studi ini tidak menganjurkan penambangan laut dalam, namun bertujuan untuk mengembangkan proses yang lebih bersih jika diperlukan.

Pada akhirnya, meskipun metode ekstraksi hidrogen menawarkan pendekatan yang berpotensi lebih ramah lingkungan, perdebatan mengenai keberlanjutan penambangan laut dalam secara keseluruhan masih tetap terbuka, bergantung pada kemajuan teknologi dan pelestarian lingkungan laut yang rentan.